“Kasih bunda adalah bahan bakar yang memungkinkan manusia bisa melakukan hal luar biasa.” (Marrion C. Garret).
Kalimat tadi saya temukan di buku harian anak saya yang pertama.
Setiap kali membacanya, saya selalu menyadari betapa luar biasanya peran
seorang ibu bagi kehidupan. Alquran telah mengisahkan pada kita tentang
ibu-ibu luar biasa yang melahirkan generasi luar biasa pula. Contohnya,
ibunda Musa, Maryam yang melahirkan Nabi Isa a.s., atau Siti Hajar,
ibundanya Nabi Ismail. Bahkan Islam mengangkat harta seorang ibu begitu
tinggi—sebagai bukti betapa pentingnya peran seorang ibu.
Maka, ketika pertama kali berperan sebagai ibu, saya tak mau
kecolongan. Bermacam buku saya baca, kisah sukses mendidik anak saya
tiru, dan berbagai teori saya lahap. Saya benar-benar ingin maksimal
sebagai ibu.
Tapi ternyata ketika peran ibu saya dapatkan setelah kelahiran
pertama disusul yang kedua, kenyataan di lapangan banyak membuat saya
terhenyak. Salah satu kejadian yang membuas saya luruh adalah ketika
suatu hari anak saya yang pertama (13 bulan) hendak buang hajat (BAB).
Ketika hajatnya selesai, saya membersihkannya, tapi kemudian tiba-tiba
dia berkata, “Eh, tunggu dulu, belum… mau lagi…”.
Tiba-tiba saya mengomel, “Teteh yang betul dong, kalau sudah ya
sudah…. Bla… bla… bla….” Panjang lebar saya mengomeli dia. Waktu itu dia
diam saja. Ketika akhirnya benar-benar selesai, dia lalu menghampiri
saya yang sedang sibuk mengurus anak kedua yang berumur 6 bulan. Dia
lalu memegang wajah saya dengan dua tangannya, dan tanpa disangka-sangka
dia berkata, “Bunda tadi aku kan tidak tahu kalau aku mau lagi ee-nya.
Kalu aku bilang belum, Bunda jawab saja ‘Iya Sayang,’ gitu ya, ga usah
marah ya. Bunda yang sabar yah….”
Luar biasa saya kaget. Bibir polosnya menguraikan kata-kata yang
membuat saya benar-benar tertampar. Ya, kenapa pula saya harus mengomel
berlama-lama hanya karena dia ingin BAB? Bukankah itu kebutuhan dia?
Saya pun memeluknya dan meminta maaf. Sejak hari itu, saya sadar, betapa
peran ibu memang luar biasa, tapi untuk menjalankannya, bukanlah
perkara yang mudah. Sejak saat itu pula saya menyadari satu hal, untuk
menjadi ibu atau ayah yang baik sesungguhnya tidak bisa kita pelajari
dari buku yang kita baca atau dari teori-teori yang yang kita yakini
kebenarannya saja. Hal-hal tersebut hanya berperan sekian persen.
Sesungguhnya anak-anaklah yang lebih banyak mengajari kita bagaimana
menjadi orang tua yang baik.
Kita sebagai orang tua kadang lebih banyak mendahulukan ego kita,
karena kita telah dewasa. Kita lah yang selalu benar. Padahal fitrah
anak-anak adalah yang paling bisa menyingkap kebenaran di dunia ini.
Mereka lah guru terbaik yang kita miliki.
Maka sampai hari ini, saya selalu mencoba belajar banyak hal dari
anak-anak saya. Belajar untuk bersabar, belajar untuk mengorbankan diri
sendiri, belajar untuk saling memahami dan menghargai, belajar untuk
selalu menjadikan dunia kami dunia yang nyaman dan penuh kasih sayang.
Dalam keadaan apapun, sambutlah anak dengan penuh cinta, maka kita akan
belajar jauh lebih banyak daripada yang bisa dikatakan. []
Oleh : Suminar Widyawati (Ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Tinggal di Purwakarta)
Sumber: islampos.com
0 komentar:
Posting Komentar