SAYA selalu ingat betul pertama kali saya mengenal benda panjang
kecil berwarna putih yang bernama rokok. Ketika itu saya masih kelas 2
SMP. Teman-teman sekampung, satu pengajian satu sekolahan, satu madrasah
satu sepermainan, mengajak saya ke sebuah saung di persawahan. Dalam
satu lingkaran, saya, Iman, Dani, Rizal dan lainnya. Salah seorang
mengeluarkan sebungkus rokok (sayapun masih ingat mereknya apa—karena
sampai sekarang malah menjadi sebuah brand terkenal yang sering
mensponsori acara-acara olahraga) dan meletakkannya di tengah-tengah
kami.
“Ayo kita menjadi lelaki!” begitu ujarnya dalam bahasanya sendiri yang lain.
Semua orang, jumlahnya adalah 6 orang dengan saya, mengambil
masing-masing satu dan menyalakannya dengan sebuah korek api yang ketika
itu harganya hanya Rp. 25 perak saja. Kecuali saya. Saya hanya terdiam
menatap rokok-rokok itu mengepulkan asap dari mulut-mulut teman saya.
Bau. Dan bikin sesak. Teman-teman ketika menyadari saya tidak mengambil
satu batangpun bertanya, “Kenapa? Tidak ada yang ngelaporin sama kakak
kamu kok!”
Saya tersenyum. Menolak. Sampai lingkaran itu bubar, saya tidak
pernah menyentuh rokok itu. Dan sejak saat itu, saya mulai dijauhi oleh
teman-teman. Sedikit demi sedikit mereka mengucilkan saya hingga
akhirnya dalam waktu satu tahun setelah kejadian itu, saya sudah
benar-benar mempunyai teman-teman yang baru. Dan sejak saat itu pulalah
saya sadar bahwa saya membenci asap rokok! Sangat!
BERGAUL memang gampang-gampang susah. Mungkin bukan sekali dua kali
kita dihadapkan sama situasi yang pernah saya hadapi tersebut. Tidak
usah deh ditanya bagaimana nyerinya hati dan perasaan ini ketika tahu
kita dijauhi oleh teman-teman yang selama itu selalu bersama-sama. Pahit
memang. Jatuhnya pun lumayan lepas-landas. Ibaratnya siapalah diri kita
jika tak punya teman seperjuangan? Teman satu pikiran?
Tapi memang hidup musti memilih. Memang waktu saya memutuskan tidak
ikut teman-teman yang lain untuk merokok, tidak pernah saya berpikiran
sejauh itu—maksudnya bahwa itu adalah sebuah pilihan. Toh, seiring
dengan berjalannya waktu, teman-teman saya yang baru, benar-benar baik
sehidup-semati. Teman-teman yang sadar kalau kebiasaan dan unjuk diri
tidak dengan cara merusak diri sendiri dan orang lain juga lingkungan.
Dalam bergaul, mau tidak mau kita akan sellau menghadapi situasi yang
tidak enak. Maka sudah jadi keharusan jika kita juga sudah mampu
menyiapkan diri untuk bisa bilang “tidak!” jika ada persyaratan bergaul
bertabrakan dengan prinsip hidup kita.
IMAN, yang paling tua di antara kami, terakhir kali ketemu di bis
yang mau keluar kota, sampai usia hampir 30 tahun, masih belum menikah
dan kuliahnya tidak beres-beres. Di tangannya masih tergenggam sebatang
rokok yang mengepul.
Dani, yang paling dekat dengan saya dan paling kaya, menikah punya
dua anak, kerjanya tidak pernah jelas, istrinya beberapa tahun lebih tua
daripada dia. Merokoknya juga masih kencang.
Rizal, saat ini jadi pemuda yang tidak ketahuan juntrungannya yang
hidupnya sudah seperti benalu untuk orang tuanya, karena tidak pernah
punya kerjaan. Setiap kali bertemu, di tangan kanannya ada HP, di tangan
kirinya ada sebatang rokok!
Yang lainnya tidak pernah ketemu dan tidak tau lagi kabarnya.
satujuve@yahoo.com
Sumber: islampos.com
0 komentar:
Posting Komentar