PADA
tengah malam hari, saya kerap terjaga—dan kemudian diam-diam dengan
begitu saja, entah sadar ataukah tidak, saya pindah ke kamar anak-anak
saya. Di sana, pada awalnya saya hanya berdiri mematung di pintu kamar,
sambil mendengarkan sunyi atau kadang-kadang suara para peronda
membunyikan tiang listrik dengan tongkat atau mungkin batu.
Namun kemudian, saya beringsut perlahan, mendekat pada mereka, duduk
di samping tempat tidurnya dan dengan rasa khawatir kalau-kalau mereka
terganggu oleh kehadiran saya, saya membaringkan diri di samping
mereka—mungkin di samping anak pertama, atau yang kedua. Kemudian saya
diam, dan mata agak tak mau terpejam lagi. Saya pandangi mereka
dalam-dalam, mengamati semua hal yang terjadi dan berubah pada mereka.
Kadang mereka mendengkur—karena mungkin saking capeknya main dan
beraktivitas seharian. Kadang juga mereka berbalik ke sana kemari. Dan
saya hanya bisa tersenyum.
Di saat-saat seperti itu, pikiran saya melayap entah kemana—namun
selalu bertumpu pada keduanya. Berbagai pertanyaan menyelinap, namun
satu yang selalu hadir secara konstan; apa gerangan yang ada di pikiran
mereka sekarang ini? Tiba-tiba saja saya mendapati bahwa anak saya
pertama yang perempuan tak mau lagi dicium atau dipeluk di depan umum,
dan anak laki-laki saya sudah bisa membaca. Tiba-tiba saja mereka sudah
hampir bisa menghafal lebih dari setengah juz terakhir
Al-Quran—sementara saya, masih ingat benar—baru bisa menghafal 1 juz
terakhir saja ketika kuliah tingkat dua. Tiba-tiba saja begitu banyak
yang dibutuhkan anak saya perempuan jika akan pergi ke sekolah, dan
begitu banyak tiba-tiba yang lain…
Kemudian saya teringat istri saya—mereka-reka wajahnya setiap hari.
Bagaimana ia melakukan semua itu? Dan bagaimana ia melakukannya tanpa
hari ada satu keluhan pun yang sampai kepada saya? Saya memejamkan mata;
ingin menangis rasanya. Memang agak lebay mungkin, dan hal-hal seperti
ini terlampau biasa disampaikan.
Beberapa hari lalu, istri saya melaporkan bahwa ia menonton acara
“Just Alvin” di sebuah stasiun televisi swasta. Bintang tamunya adalah
KH Abdullah Gymnastiar—Aa Gym. Setelah beberapa saat percakapan
ngalor-ngidul antara Aa Gym dan Alvin, sang pembaca acara, Alvin
kemudian menampilkan slide show perkataan Ghaida, anak perempuan Aa yang
beranjak dewasa. Dalam video itu, Ghaida berkata, “Dulu itu, saya
hampir nggak pernah punya waktu dengan ayah, susah sekali bertemu
dengannya…”
Aa Gym terdiam. Tubuhnya menggigil, dan kemudian menangis terisak
dengan emosi yang masih terkontrol. Tangis yang—menurut istri saya,
insyaAllah—tidak dibuat-buat. Dan mungkin tangis seperti itu juga yang
terus saya ingat sampai kini.
Abu Umar
Sumber: islampos.com
0 komentar:
Posting Komentar