/*releated post
/*end related

Senin, 13 Agustus 2012

Rokok


SAYA selalu ingat betul pertama kali saya mengenal benda panjang kecil berwarna putih yang bernama rokok. Ketika itu saya masih kelas 2 SMP. Teman-teman sekampung, satu pengajian satu sekolahan, satu madrasah satu sepermainan, mengajak saya ke sebuah saung di persawahan. Dalam satu lingkaran, saya, Iman, Dani, Rizal dan lainnya. Salah seorang mengeluarkan sebungkus rokok (sayapun masih ingat mereknya apa—karena sampai sekarang malah menjadi sebuah brand terkenal yang sering mensponsori acara-acara olahraga) dan meletakkannya di tengah-tengah kami.
“Ayo kita menjadi lelaki!” begitu ujarnya dalam bahasanya sendiri yang lain.
Semua orang, jumlahnya adalah 6 orang dengan saya, mengambil masing-masing satu dan menyalakannya dengan sebuah korek api yang ketika itu harganya hanya Rp. 25 perak saja. Kecuali saya. Saya hanya terdiam menatap rokok-rokok itu mengepulkan asap dari mulut-mulut teman saya. Bau. Dan bikin sesak. Teman-teman ketika menyadari saya tidak mengambil satu batangpun bertanya, “Kenapa? Tidak ada yang ngelaporin sama kakak kamu kok!”
Saya tersenyum. Menolak. Sampai lingkaran itu bubar, saya tidak pernah menyentuh rokok itu. Dan sejak saat itu, saya mulai dijauhi oleh teman-teman. Sedikit demi sedikit mereka mengucilkan saya hingga akhirnya dalam waktu satu tahun setelah kejadian itu, saya sudah benar-benar mempunyai teman-teman yang baru. Dan sejak saat itu pulalah saya sadar bahwa saya membenci asap rokok! Sangat!

BERGAUL memang gampang-gampang susah. Mungkin bukan sekali dua kali kita dihadapkan sama situasi yang pernah saya hadapi tersebut. Tidak usah deh ditanya bagaimana nyerinya hati dan perasaan ini ketika tahu kita dijauhi oleh teman-teman yang selama itu selalu bersama-sama. Pahit memang. Jatuhnya pun lumayan lepas-landas. Ibaratnya siapalah diri kita jika tak punya teman seperjuangan? Teman satu pikiran?
Tapi memang hidup musti memilih. Memang waktu saya memutuskan tidak ikut teman-teman yang lain untuk merokok, tidak pernah saya berpikiran sejauh itu—maksudnya bahwa itu adalah sebuah pilihan. Toh, seiring dengan berjalannya waktu, teman-teman saya yang baru, benar-benar baik sehidup-semati. Teman-teman yang sadar kalau kebiasaan dan unjuk diri tidak dengan cara merusak diri sendiri dan orang lain juga lingkungan.
Dalam bergaul, mau tidak mau kita akan sellau menghadapi situasi yang tidak enak. Maka sudah jadi keharusan jika kita juga sudah mampu menyiapkan diri untuk bisa bilang “tidak!” jika ada persyaratan bergaul bertabrakan dengan prinsip hidup kita.

IMAN, yang paling tua di antara kami, terakhir kali ketemu di bis yang mau keluar kota, sampai usia hampir 30 tahun, masih belum menikah dan kuliahnya tidak beres-beres. Di tangannya masih tergenggam sebatang rokok yang mengepul.
Dani, yang paling dekat dengan saya dan paling kaya, menikah punya dua anak, kerjanya tidak pernah jelas, istrinya beberapa tahun lebih tua daripada dia. Merokoknya juga masih kencang.
Rizal, saat ini jadi pemuda yang tidak ketahuan juntrungannya yang hidupnya sudah seperti benalu untuk orang tuanya, karena tidak pernah punya kerjaan. Setiap kali bertemu, di tangan kanannya ada HP, di tangan kirinya ada sebatang rokok!
Yang lainnya tidak pernah ketemu dan tidak tau lagi kabarnya.
satujuve@yahoo.com


Sumber: islampos.com


0 komentar:

Posting Komentar