/*releated post
/*end related

Senin, 20 Agustus 2012

Romantisme Dapur & Kamar Mandi


LIMA tahun kemudian setelah pernikahan kami dan dua orang anak hadir, saya mulai harus mengakui bahwa semuanya rumah tangga kami, tiba-tiba saja berubah menjadi klise dan bersifat rutinitas belaka. Hari-hari kadang-kadang berlalu sama dan begitu saja—ritmenya sudah bisa ditebak. Pagi hari adalah segenap kesibukan—setelah salat subuh, saya mencuci, mengepel rumah, dan memandikan anak-anak, sedangkan istri memasak di dapur dan menyiapkan segala keperluan untuk hari itu.
Pada satu titik, saya selalu memikirkan bagaimana perasaan istri saya pada periode ini. Saya, karena pekerjaan dan aktivitas sosial lainnya, akan selalu bisa keluar rumah dan menemukan hal-hal yang setidaknya bukan itu-itu saja. Tetapi, istri saya mau tidak mau dihadapkan pada pilihan yang selalu sama: rumah dan dua orang anak kami yang masih di bawah lima tahun. Selingannya mungkin hanya ikut dan mengisi pengajian atau kegiatan temporer belaka.
Khawatir akan kehilangan terlalu banyak, maka saya mengajaknya berbicara secara khusus. Pertanyaan saya dimulai dengan, “kamu masih mencintai aku nggak sih?” yang mungkin terdengar aneh bagi orang lain, dan kedengaran agak platonis, namun istri saya hanya tersenyum nyengir saja. Dan jawabannya adalah, “hal-hal seperti itu sudah tak perlu lagi dijawab.” Saya, jelas tidak puas dengan jawaban itu. “Saya takut kamu sudah selesai dalam rumah tangga kamu,” ujar saya lagi dengan benar-benar perasaan cemas. Dia tertawa lagi. Dan seringnya memang kemudian diskusi dengan tema seperti itu tidak pernah menemukan solusi di rumah kami. Ia akan menguap begitu saja, namun masih akan terus mengendap dalam hati dan pikiran saya.
Sejalan dengan itu, diam-diam saya tengah berpikir, bahwa separuh kehidupan istri saya kemudian memang terkonsentrasi hanya kepada kedua mahluk kecil di rumah kami itu. Separuh dari separuhnya lagi adalah bagaimana mengatur stabilitas rumah tangga kami dari segi pengeluaran—dari penghasilan saya yang juga pas-pasan, dan juga segala retorika berumah tangga yang senantiasa ada dan muncul dari kini-kanan dan depan-belakang. Dan dengan perasaan agak defensif, saya mencoba meyakinkan bahwa mungkin masih ada tempat saya dalam istri saya—dalam kehidupannya. Sesuatu yang agak bodoh namun terkesan sumir sebenarnya.
Tapi memang, perasaan itu terus-menerus ada, dan pada suatu ketika ia kembali menemui titik puncaknya. Akhirnya, dengan perasaan malu dan sedikit cemas, saya kembali membuka diskusi dengan istri. “Kamu sekarang lebih asyik dengan anak-anak….” Saya berkata lirih beberapa saat setelah subuh lewat, dan bacaan doa almatsurat kami berdua. Ia kembali tersenyum, dan menjawab, “Kok ayah selalu berpikiran seperti itu sih?”
Saya menimpali, “Saya tidak pernah ingin menuntut banyak. Tapi saya kehilangan banyak dari kamu sekarang ini. Semuanya berjalan tampak seperti sesuatu yang diulang-ulang…”
Ia kembali tersenyum. “Untuk sementara waktu ini mungkin belum memungkinkan untuk seperti awal-awal kita menikah. Belumkah ayah menemukan sesuatu yang lain dan tersembunyi , dan menjadi begitu istimewa dan indah di antara kita?”
“Maksud kamu?”
Istri saya merapikan sajadahnya. Di luar sudah sedikit terang, dan para tetangga sudah mulai terdengar beraktivitas. Ia kemudian berkata lagi, “Setelah lima tahun, ada hal, ada banyak hal yang terasa jadi lebih berarti daripada sekadar sesuatu yang verbal dan secara fisik. Di antara kesibukan pagi hari kita, mencuci di kamar mandi, masak di dapur, di ruang makan ketika kita sarapan bersama, ada hal-hal romantis dan sangat berharga dari kebersamaan kita selama ini. …”
Saya garuk-garuk kepala. Belum mengerti. Kelak pada suatu hari, ketika suatu pagi saya mendengar dentingan ketel yang tengah dipakai untuk masak oleh istri saya, saya berusaha keras untuk menemukan arti romantisme yang dimaksud oleh istri saya itu. Ketika setengahnya akan segera sempurna, anak pertama saya menghampiri saya dan berkata, “Aku ingin mandinya sama ayah….”

Sumber: islampos.com


0 komentar:

Posting Komentar