LIMA
tahun kemudian setelah pernikahan kami dan dua orang anak hadir, saya
mulai harus mengakui bahwa semuanya rumah tangga kami, tiba-tiba saja
berubah menjadi klise dan bersifat rutinitas belaka. Hari-hari
kadang-kadang berlalu sama dan begitu saja—ritmenya sudah bisa ditebak.
Pagi hari adalah segenap kesibukan—setelah salat subuh, saya mencuci,
mengepel rumah, dan memandikan anak-anak, sedangkan istri memasak di
dapur dan menyiapkan segala keperluan untuk hari itu.
Pada satu titik, saya selalu memikirkan bagaimana perasaan istri saya
pada periode ini. Saya, karena pekerjaan dan aktivitas sosial lainnya,
akan selalu bisa keluar rumah dan menemukan hal-hal yang setidaknya
bukan itu-itu saja. Tetapi, istri saya mau tidak mau dihadapkan pada
pilihan yang selalu sama: rumah dan dua orang anak kami yang masih di
bawah lima tahun. Selingannya mungkin hanya ikut dan mengisi pengajian
atau kegiatan temporer belaka.
Khawatir akan kehilangan terlalu banyak, maka saya mengajaknya
berbicara secara khusus. Pertanyaan saya dimulai dengan, “kamu masih
mencintai aku nggak sih?” yang mungkin terdengar aneh bagi orang lain,
dan kedengaran agak platonis, namun istri saya hanya tersenyum nyengir
saja. Dan jawabannya adalah, “hal-hal seperti itu sudah tak perlu lagi
dijawab.” Saya, jelas tidak puas dengan jawaban itu. “Saya takut kamu
sudah selesai dalam rumah tangga kamu,” ujar saya lagi dengan
benar-benar perasaan cemas. Dia tertawa lagi. Dan seringnya memang
kemudian diskusi dengan tema seperti itu tidak pernah menemukan solusi
di rumah kami. Ia akan menguap begitu saja, namun masih akan terus
mengendap dalam hati dan pikiran saya.
Sejalan dengan itu, diam-diam saya tengah berpikir, bahwa separuh
kehidupan istri saya kemudian memang terkonsentrasi hanya kepada kedua
mahluk kecil di rumah kami itu. Separuh dari separuhnya lagi adalah
bagaimana mengatur stabilitas rumah tangga kami dari segi
pengeluaran—dari penghasilan saya yang juga pas-pasan, dan juga segala
retorika berumah tangga yang senantiasa ada dan muncul dari kini-kanan
dan depan-belakang. Dan dengan perasaan agak defensif, saya mencoba
meyakinkan bahwa mungkin masih ada tempat saya dalam istri saya—dalam
kehidupannya. Sesuatu yang agak bodoh namun terkesan sumir sebenarnya.
Tapi memang, perasaan itu terus-menerus ada, dan pada suatu ketika ia
kembali menemui titik puncaknya. Akhirnya, dengan perasaan malu dan
sedikit cemas, saya kembali membuka diskusi dengan istri. “Kamu sekarang
lebih asyik dengan anak-anak….” Saya berkata lirih beberapa saat
setelah subuh lewat, dan bacaan doa almatsurat kami berdua. Ia kembali
tersenyum, dan menjawab, “Kok ayah selalu berpikiran seperti itu sih?”
Saya menimpali, “Saya tidak pernah ingin menuntut banyak. Tapi saya
kehilangan banyak dari kamu sekarang ini. Semuanya berjalan tampak
seperti sesuatu yang diulang-ulang…”
Ia kembali tersenyum. “Untuk sementara waktu ini mungkin belum
memungkinkan untuk seperti awal-awal kita menikah. Belumkah ayah
menemukan sesuatu yang lain dan tersembunyi , dan menjadi begitu
istimewa dan indah di antara kita?”
“Maksud kamu?”
Istri saya merapikan sajadahnya. Di luar sudah sedikit terang, dan
para tetangga sudah mulai terdengar beraktivitas. Ia kemudian berkata
lagi, “Setelah lima tahun, ada hal, ada banyak hal yang terasa jadi
lebih berarti daripada sekadar sesuatu yang verbal dan secara fisik. Di
antara kesibukan pagi hari kita, mencuci di kamar mandi, masak di dapur,
di ruang makan ketika kita sarapan bersama, ada hal-hal romantis dan
sangat berharga dari kebersamaan kita selama ini. …”
Saya garuk-garuk kepala. Belum mengerti. Kelak pada suatu hari,
ketika suatu pagi saya mendengar dentingan ketel yang tengah dipakai
untuk masak oleh istri saya, saya berusaha keras untuk menemukan arti
romantisme yang dimaksud oleh istri saya itu. Ketika setengahnya akan
segera sempurna, anak pertama saya menghampiri saya dan berkata, “Aku
ingin mandinya sama ayah….”
Sumber: islampos.com
0 komentar:
Posting Komentar