
“JIKA
 shaum kamu penuh satu bulan,” begitu ujarku kepada anak sulung 
perempuanku yang sudah berusia delapan tahun, hanya beberapa hari 
sebelum Ramadhan yang lalu. “Kamu boleh minta satu hadiah yang 
istimewa.”
Mendengar itu, wajahnya berseri-seri. Ia mengulum senyum kecil dan 
matanya tampak berkonspirasi—istriku selalu mengatakan bahwa anak 
perempuanku itu mirip sekali denganku yang selalu memikirkan banyak hal 
dengan cara yang agak rumit.
“Hmm, kalau begitu ya,” ujarnya kemudian, “aku mau I-Pad.”
Aku mengerutkan kening. I-Pad? Mengapa pula dia menginginkan itu? Istriku hanya tersenyum saja. Ia tampaknya setuju.
“Kalau aku punya I-Pad,” terang anak sulung perempuanku tanpa 
kuminta, “aku bisa menghafal Quran, membaca Quran, baca cerita, dan main
 games.”
“Baik,” ujar istriku tanpa preserve lagi—begitu saja mengabulkannya. 
Aku agak kaget juga, karena biasanya dialah yang ketat dalam pengadaan 
barang-barang seperti itu di rumah. Mungkin karena aku pernah suatu kali
 bilang bahwa I-Pad juga mempunyai banyak kegunaan edukasi untuk anak. 
Kemudian setelah itu istriku menambahkan beberapa syarat lainnya kepada 
anak perempuanku; tilawah sekian halaman, salat tepat waktu, dan saat 
sahur yang tidak rewel.
Menjelang sekitar empat hari  sebelum Lebaran, aku dan anak perempuanku mengobrol lagi.
“Aku kayaknya ganti permintaan deh…” ujarnya.
“Kok?”
“Kalau aku berpuasa penuh satu bulan, aku mau otopet.”
“Otopet?”
“Iya…”
“Kenapa?”
Ia diam sejenak. Matanya menerawang seolah tengah memikirkan sesuatu yang lain.
“Kalau aku punya I-Pad, kayaknya aku bakalan terus-terusan diam di 
kamar. Aku cuma banyak main games, baca cerita di I-Pad, aku juga 
bakalan ga banyak main lagi sama Faqih,” ia menuturkan—Faqih itu nama 
adik laki-lakinya.
Aku hanya mendengarkan.
“Kalau aku punya otopet,” ujarnya lagi. “Aku bisa main juga dengan Faqih, dan tetap bisa main di luar rumah.”
Aku menarik nafas, memandanginya. Aku ingat, dua pekan sebelumnya ia 
bertemu dengan karibnya waktu di TK—sekarang mereka berdua sudah SD 
kelas 2. Karibnya itu membawa I-Pad, dan menunjukkannya kepadanya. Tapi 
setelah itu selesai sudah, karibnya itu hanya asyik berkutat dengan 
dirinya sendiri, tak lagi peduli dengan anakku sulung itu, dan juga tak 
lagi peduli dengan lingkungan sekitarnya yang menawarkan banyak 
keajaiban hidup yang luar biasa—terutama bagi anak-anak. Mungkin 
pengalaman itu mengecewakannya yang mengharapkan sebuah pertemuan dan 
interaksi nyata. Kebetulan karibnya itu berayah yang berteman baik juga 
denganku.
Hari kedua lebaran, kami membeli dua buah otopet. Satu untuknya dan 
satu lagi untuk adiknya. Sesampai di rumah, mereka tertawa sepanjang 
hari bermain otopet.
September 2011
Sumber: islampos.com






0 komentar:
Posting Komentar